Suara Mahasiswa
''Industrialisasi'' Pilkada
PALING tidak ada satu jawaban untuk pertanyaan, mengapa ongkos pilkada menjadi sangat tinggi: karena pilkada dimaknai sebagai industri politik yang kental dengan politik transaksional. Logika transaksional ini selanjutnya melahirkan praktik permakelaran dan menyuburkan praktik mafia dalam pilkada. Setidaknya, ada lima potensi lokus transaksi biaya politik yang menjadi potret politik transaksional dan industrialisasi pilkada.
Pertama, transaksi antara elite ekonomi (pengusaha penyandang dana politik) dan calon kepala daerah. Kedua, transaksi politik antara calon kepala daerah dan elite partai pendukung untuk membeli ''tiket sewa kendaraan''. Ketiga, transaksi antara tim kampanye (calon kepala daerah) dan penyelenggara atau petugas pilkada di lapangan -- praktik kolutif semacam inilah yang mendorong terjadinya kecurangan. Keempat, transaksi antara calon kepala daerah dan konsultan pemenangan. Kelima, transaksi politik antara tim kampanye (calon kepala daerah) dan pemilih.
Siklus politik transaksional ini membentuk semacam jaringan ''mafia pilkada'', yang aktornya terdiri atas calon kepala daerah, cukong politik (pengusaha penyandang dana), elite partai, penyelenggara atau petugas pilkada, serta tim sukses calon kepala daerah sebagai perantara atau calo politik. Praktik mafia dan siklus balas jasa seperti inilah yang menyebabkan tingginya ongkos politik di pilkada dan memicu maraknya kasus korupsi kepala daerah.
Fenomena maraknya korupsi para kepala daerah akibat tingginya biaya politik di pilkada mengindikasikan perlunya penataan ulang sistem penyelenggaraan pilkada, karena biaya politik perlu ditekan agar tidak menjadi pemicu korupsi. Karena itu, setidaknya ada tiga aspek yang perlu ditata ulang.
Pertama, aspek sistem penyelenggaraan, diperlukan penyederhanaan sistem pemilu, yaitu penyatuan pemilu eksekutif dan legislatif di tingkat nasional/lokal dengan pelaksanaan pilkada serentak di kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Itu artinya, hanya ada dua kali pemilu, yaitu pemilu nasional (pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu DPR/DPD) dan pemilu lokal (pemilihan bupati/wali kota, dan pemilihan anggota DPRD. Sementara gubernur --sebagai perwakilan pemerintahan pusat di daerah --perlu dikaji apakah cukup dipilih melalui mekanisme di DPRD.
Kedua, dari aspek dana kampanye, diperlukan penyederhanaan biaya kampanye melalui aturan pembatasan pengeluaran belanja kampanye calon kepala daerah, agar pelaksanaan pilkada makin murah dan relatif adil.
Ketiga, dari aspek mekanisme penjaringan, diperlukan penyederhanaan sistem rekrutmen melalui kesadaran internal partai --atau dipaksakan melalui regulasi perundangan-- untuk menerapkan sistem penjaringan calon kepala daerah secara demokratis dan transparan.
Ii Kadek Nuratni
Mahasiswi Jurusan Manajemen
Fakultas Ilmu Sosial Undiksha
Pertama, transaksi antara elite ekonomi (pengusaha penyandang dana politik) dan calon kepala daerah. Kedua, transaksi politik antara calon kepala daerah dan elite partai pendukung untuk membeli ''tiket sewa kendaraan''. Ketiga, transaksi antara tim kampanye (calon kepala daerah) dan penyelenggara atau petugas pilkada di lapangan -- praktik kolutif semacam inilah yang mendorong terjadinya kecurangan. Keempat, transaksi antara calon kepala daerah dan konsultan pemenangan. Kelima, transaksi politik antara tim kampanye (calon kepala daerah) dan pemilih.
Siklus politik transaksional ini membentuk semacam jaringan ''mafia pilkada'', yang aktornya terdiri atas calon kepala daerah, cukong politik (pengusaha penyandang dana), elite partai, penyelenggara atau petugas pilkada, serta tim sukses calon kepala daerah sebagai perantara atau calo politik. Praktik mafia dan siklus balas jasa seperti inilah yang menyebabkan tingginya ongkos politik di pilkada dan memicu maraknya kasus korupsi kepala daerah.
Fenomena maraknya korupsi para kepala daerah akibat tingginya biaya politik di pilkada mengindikasikan perlunya penataan ulang sistem penyelenggaraan pilkada, karena biaya politik perlu ditekan agar tidak menjadi pemicu korupsi. Karena itu, setidaknya ada tiga aspek yang perlu ditata ulang.
Pertama, aspek sistem penyelenggaraan, diperlukan penyederhanaan sistem pemilu, yaitu penyatuan pemilu eksekutif dan legislatif di tingkat nasional/lokal dengan pelaksanaan pilkada serentak di kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Itu artinya, hanya ada dua kali pemilu, yaitu pemilu nasional (pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu DPR/DPD) dan pemilu lokal (pemilihan bupati/wali kota, dan pemilihan anggota DPRD. Sementara gubernur --sebagai perwakilan pemerintahan pusat di daerah --perlu dikaji apakah cukup dipilih melalui mekanisme di DPRD.
Kedua, dari aspek dana kampanye, diperlukan penyederhanaan biaya kampanye melalui aturan pembatasan pengeluaran belanja kampanye calon kepala daerah, agar pelaksanaan pilkada makin murah dan relatif adil.
Ketiga, dari aspek mekanisme penjaringan, diperlukan penyederhanaan sistem rekrutmen melalui kesadaran internal partai --atau dipaksakan melalui regulasi perundangan-- untuk menerapkan sistem penjaringan calon kepala daerah secara demokratis dan transparan.
Ii Kadek Nuratni
Mahasiswi Jurusan Manajemen
Fakultas Ilmu Sosial Undiksha
0 komentar:
Posting Komentar